ANALISIS
UNDANG-
UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
40 TAHUN 2007
TENTANG
PERSEROAN
TERBATAS
Disusun
untuk memenuhi tugas matakuliah Hukum Dagang dan Bisnis
Dosen
pengampu: Zulfatun Nikmah, M. Hum.
Oleh:
1.
Ilma
Hamdani A. (NIM. 1711143029)
Blog: Ilmahamdani50.blogspot.com
2.
Ilma
milatun N (NIM. 1711143030)
Blog:ilmamila.blogspot.com
3.
Intan
Pratiwi N.P (NIM. 1711143034)
Blog: Intanpratiwi2.blogspot.co.id
4.
Kukuh
Bagus B.I. (NIM. 1711143039)
Blog: Kukuhirawan.blogspot.com
5.
Shofiana
Aprilia (NIM. 1711143077)
Blog: sofisiana.blogspot.com
BAB V
TANGGUNG JAWAB SOSIAL DAN LINGKUNGAN
Pasal 74
Ayat 1-4
Tanggung
jawab sosial dan lingkungan disini diartikan sebagai komitmen Perseroan untuk
berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan
kualitas kehidupan dan lingkkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan
sendiri, komunitas setempat maupun masyarakat pada umumnya. Tanggung jawab
sosial dan lingkungan biasa disebut dengan TJSL atau dengan istilah Corporate
Social Responsibility (CSR).
Perusahaan
bertanggung jawab untuk menjamin bahwa kegiatan operasionalnya mampu
menghasilkan barang dan atau jasa secara ekonomis, efisien dan bermutu untuk
kepuasan pelanggan disamping untuk memperoleh keuntungan. Perusahaan juga
berkewajiban untuk mematuhi hukum dan seluruh peraturan perundang-undangan
nasional dan daerah yang berlaku diwilayah negara seperti misalnya mematuhi
hukum ketenaga kerjaan, persaingan usaha yang sehat, perlindungan terhadap
konsumen, perpajakan, laporan aktivitas perusahaan, dan termasuk juga untuk
mematuhi hak-hak asasi manusia dan asas pengelolaan lingkungan hidup yang baik
dan berkelanjutan.
Tidak semua
Perseroan terbatas yang wajib melakukan tanggung sosial dan lingkungan, menurut
bab V UUPT 2007, yang wajib melakukan tanggung jawab sosial adalah:
a.
Perseroan yang menjalankan usaha di bidang sumber daya alam.
Yang dimaksud
dengan perseroan yang menjalankan usaha di bidang sumber daya alam menurut
pasal 74 ayat (1) adalah perseroan yang mengelola dan memamfaatkan sumber daya
alam.
b.
Perseroan yang menjalankan usaha yang berkaitan dengan sumber daya
alam.
Yang dimaksud
dengan usaha yang berkaitan dengan sumber daya alam menurut pasal 74 ayat (1)
adalah perseroan:
1.
Tidak mengola dan tidak memamfaatkan sumber daya alam
2.
Tetapi kegiatan usahanya berdampak pada fungsi dan kemampuan sumber
daya alam.[1]
Rancangan
TJSL atau CSR dalam hal penjagaan sosial dan lingkungan untuk peduli terhadap
kemajuan dan kesejahteraan masyarakat lokal dimana perusahaan tersebut
berdomisili dan atau menjalankan aktivitas operasionalnya. Kewajiban ini dapat dilakukan perusahaan melalui berbagai
bentuk kegiatan yang idealnya cocok dengan strategi dan businis core dari
perusahaan itu sendiri. Misalnya penyediaan hingga pelayanan kesehatan dan
pendidikan masyarakat lokal, penyedian saran dan prasarama umum, dan
sebagainya. Selain itu bisa diwujudkan dengan memasukkan aneka kegiatan yang
bersifat karitatif didalamnya, seperti menyantuni anak yatim piatu, menolong
korban bencana alam, dan sebagainya.
Jadi
pada dasarnya TJSL bertujuan agar perusahaan dapat memberi kontribusi untuk
kemajuan atau peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Ini merupakan
salah satu langah pemerintah yang
bertujuan untuk mewujudkan upaya menyejahterakan masyarakat melalui
berbagai badan usaha yang berbadan hukum maupun bukan berbadan hukum.
TJSL
atau CSR ini, dalam undang-undang no 40 tahun 2007 telah di jadikan sebagai
salah satu agenda yang di bicarakan dalam rapat umum pemegang saham tahunan.
Oleh karena itu, selain rencana kerja, direksi juga dapat mengajukan rencana
untuk pelaksanaan TJSL ini untuk mendapat persetujuan dari para pemegang saham
perseroan.
BAB VI
RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM
Pasal 75-91
Kaitannya
dengan pasal ini, dari kelompok kami tidak menyebutkan pasal perpasal.
Melainkan merangkum dalam satu kesatuan pengertian, selain karena jumlah pasal
dan ayat yang begitu banyak dan malah mengurangi keefisian dalam pembahasan
maksud dari bab ini juga guna lebih mudah dalam pemahaman pembaca. Selain itu
untuk lebih jelasnya atau untuk menyesuaikan penjelasan dengan isi dalam pasal,
sekiranya pembaca bisa mengecek kembali dalam UU No. 40 tahun 2007.
Ø RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) merupakan wadah dimana pemegang
saham dapat menyalurkan kepentingannya.
Jenjang
kedudukan antara RUPS, komisaris, dan Direksi meliputi:
ü Menurut paham klasik kedudukan antara ke tiga organ berada dalam
kedudukan dari atas ke bawah (untergeordnerd). Bahwa kekuasaan itu
berpuncak pada RUPS, dengan dewan komisaris berada di bawahnya, dan yang paling
bawah adalah direksi. Jika dewan komisaris dan direksi mempunyai kekuasaan,
maka kekuasaan itu di anggap tidak lain berasal dari limpahan RUPS. Karena itu
menurut pandangan klasik, apapun yang di perintahkan oleh RUPS, maka perintah
itu mengikat dan harus di patuhi oleh dewan komisaris dan direksi.
ü Tetapi pandangan tersebut sekarang sudah di tinggalkan. Dari
berbagai sumber, adanya perseroan itu bukan semata-mata untuk kepentingan
pemegang saham. Melainkan eksistensi perseroan itu berpengaruh banyak untuk
kepentingan dan kehidupan masyarakat yang lebih luas.
Dari uraian tersebut menyatakan bahwa kedudukan ke tiga organ,
yaitu Direksi-komisaris-RUPS tidaklah berjenjang ke bawah melainkan kedudukan
ke tiga organ itu “sejajar” (neben), yang artinya yang satu tidak lebih
tinggi dari yang lain. Masing-masing dengan tugas dan wewenangnya
sendiri-sendiri menurut anggaran dasar dan peraturan perundang-undangan. Guna
terciptanya pengelolaan pengurusan yang baik ( good corporate govermance).
Jika perlu, apabila keputusan RUPS oleh Direksi dianggap bertentangan dengan
kepentingan perseroan, maka Direksi boleh untuk tidak mematuhi keputusan RUPS
tersebut.
Ø Tugas dan wewenang RUPS
Dari
pengertian diatas dapat dijadikan sebagai acuan dalam membaca pasal 75 UU 2007
yang menyatakan bahwa RUPS mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada
direksi atau dewan komisaris, dalam batas yang ditentukan oleh UU dan anggaran
dasar Perseroan. Demikian jika dalam UU dan atau Anggaran dasar sudah
ditentukan sebagai direksi dan atau tugas komisaris, maka perbuatan itu tidak
boleh dilakukan oleh RUPS, tetapi jika ada sesuatu tugas atau wewenang yang
tidak ditentukan sebagai tugas direksi dan atau komisaris, maka tugas tersebut
merupakan wewenang dari RUPS.[2]
Ø Tempat Penyelenggaraan
RUPS
tersebut tidaklah dapat diselenggarakan disembarang tempat. Menurut pasal 76 UU
2007, RUPS harus diadakan ditempat kedudukan perseroan atau ditempat perseroan
melakukan kegiatan usahanya yang utama. Jadi, bukan sekedar ditempat dimana
perseroan mempunyai usaha. Untuk perseroan terbuka, RUPS dapat diadakan
ditempat kedudukan bursa dimana saham perseroan dicatatkan. Ketentuan ini
diatur pula dalam pasal 9 dari anggaran dasar.
Namun
jika dalam RUPS hadir dan atau terwakili oleh semua pemegang saham dan semua
pemegang saham menyetujuinya, maka RUPS dapat dilaksanakan dimanapun asal dalam
wilayah negara Republik Indonesia.
Ø Kuorum dan Voting
Untuk
sahnya RUPS haruslah terpenuhi tentang “Kuorum”. Adapun yang dimaksud dengan
“Kuorum” adalah suatu prosentase tertentu diantara pemegang saham yang ada dan
yang hadir dalam RUPS (pasal 77 UU 2007). Dalam pengertian hadir disini, dapat
dihadiri oleh pemegang saham sendiri atau kuasanya. Sedangkan yang dimaksud
dalam pemegang saham disini adalah pemegang saham yang mempunyai hak suara
untuk hadir dan mempunyai hak memberikan suara dalam RUPS, sebab ada pemegang
saham yang tidak mempunyai hak untuk hadir dan atau memberikan suara. Berapa
besarnya kuorum tersebut, hal ini tidaklah sama rata, melainkan tergantung rapat
acara. Untuk acara-acara yang biasa, kuorumnya lebih dari 50% (lebih dari
separoh).
Tetapi
jika acaranya mengenai perubahan anggaran dasar, maka kuorumnya diperberat,
yaitu sebagaimana pasal 88 UU 2007, kuorumnya menjadi 66,66% (2/3) dari seluruh
peemegang saham yang berhak suara, dan putusan RUPS disetujui oleh 66,66% (2/3)
dari pemegang saham bersuara yang hadir.
Sedangkan
dalam acara rapat menegenai penggabungan, peleburan, pengambil alihan, atau
pemisahan (periksa pasal 89 UU 2007) atau pengajuan permohonan agar perseroan
dinyatakan pailit , atau perpanjangan waktu pendirian perseroan, atau
pembubaran perseroan, maka RUPS semacam ini hanyalah dapat sah diadakan jika
dihadiri paling sedikit 75% (3/4) dari seluruh pemegang saham yang berhak
suara, dan putusan tersebut disetujui oleh 75% (3/4) dari pemegang saham yang
hadir.
Ø Penyelenggaraan dan pemanggilan
RUPS
pada hakikatnya adalah wadah dimana para pemegang saham berhimpun untuk
memperjuangkan kepentingannya, yang dalam mengambil keputusan akan berakhir
dengan pemungutan suara. Maka untuk sahnya RUPS, merupakan syarat mutlak semua
pemegang saham harus di berikan jika
akan di adakan RUPS , sehingga untuk menjadikan pertimbangan bagi pemegang
saham, menurut kepentingannya, apakah ia merasa perlu hadir atau tidak dalam
RUPS yang di adakan.
Karena
itu menurut ketentuannya RUPS hanyalah dapat membicarakan mengenai acara-acara yang sudah di cantumkan dalam
surat pemanggilan RUPS.
Menurut
pasal 79 uu 2007, direksilah yang menyelenggarakan RUPS dengan di dahului
dengan pemanggilan. Dalam pasal 82 UU 2007, dan dalam pasal 9 Anggaran dasar,
di atur mengenai tata cara pemanggilan. Pemanggilan kini di lakukan dalm
jangka waktu paling lambat 14
harisebelum tanggal RUPS di adakan, dengan tidak memperhitungkan tanggal pemanggilan dan RUPS.
Pemanggilan
di lakukan dengan surat tercatat atau iklan dalm serat kabar. Dalm panggilan
harus di cantumkan tanggal, waktu, tempat, dan mata acara rapat yang di sertai
pemberitahuan bahwa bahan yang akan di
bicarakan tersedia di kantor perseroan sejak tanggal di lakukan pemanggilan
sampai tanggal RUPS di adakan.
Bagaimana
manakala pemanggilan tidak di lakukan sebagaimana terurai di atas. Logisnya,
maka RUPS menjadi tidak sah. Namun menurut pasal 82 ayat 5,dalam hal
pemanggilan tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana di maksud di atas, maka
RUPS tetap sah, jika semua pemegang saham dengan hak suara hadir atau di wakili
secara bulat menyetujui diadakannya RUPS tersebut serta semua di antara mereka
setuju dengan keputusan RUPS.
Ø Yang memprakarsai RUPS dapat
di selenggarakan
Umumnya
prakarsa mengadakan RUPS itu datangnya dari direksi, karena direksilah yang
menjalankan manajemen perseroan. Tetapi sebagaimana pasal 79 ayat 2 UU 2007,
prakarsa untuk meminta di adakannya RUPS dapat pula dari pihak pemegang saham.
Dapat di mintakan oleh satu orang atau lebih yang pemegang saham. Satu orang
ini atau lebih dari itu orang dan bersama- sama, mewakili 1/10 atau lebih dari
jumlah seluruh pemegang saham yang berhak suara atau permintaan diselenggarakannya
rapat tersebut dapat pula datangnya dari dewan komisaris.
Permintaan
oleh pemegang saham sebagaimana teruarai diatas, diajukan kepada direksi dengan
surat tercatat disertai dengan alasannya yang tembusannya disampaikan kepada
dewan komisaris (pasal 79 ayat 3 dan ayat 4). Dalam hal demikian ini direksi
wajib menyelenggarakan RUPS yang diminta itu dalam jangka waktu paling lambat
15 hari terhitung dari sejak tanggal permintaan penyelenggaraan rapat.
Dalam
hal ini sebagaimana pasal 79 ayat 6, pemegang saham yang bersangkutan harus
memajukan permohonan ulang kepada dewan komisaris. Dalam peristiwa semacam ini, rapat tersebut
berhak diadakan sendiri oleh dewan komisaris, dalam jangka waktu 15 hari
terhitung sejak tanggal permintaan oleh pemegang saham kepada komisaris, tetapi
sudah tentu menurut cara-cara yang telah ditentukan oleh undang-undang.
Apabila
pernyataan permohonan rapat tidak diindahkan oleh dewan komisaris, sesuai
dengan pasal 80 ayat 1 UU 2007, maka pemegang saham dapat meminta penyelenggaraan
RUPS dengan memajukan permohonan kepada ketua pengadilan negeri yang daerah
hukumnya meliputi kedudukan perseroan. Manakala dapat dikabulkan menurut
pertimbangan ketua pengadilan maka ketua pengadilan menerbitkan suatu penetapan
memberikan izin kepada pemohon melakukan sendiri penyelenggaraan rapat.
Mnurut
pasal 80 ayat 2, ketua pengadilan menerbitkan penetapan tersebut setelah
memanggil dan mendengar pemohon secara samar yang telah membuktikan bahwa
persyaratan telah dipenuhi dan pemohon mempunyai kepentingan yang wajar untuk
diselenggarakannya RUPS.
Negeri
juga memuat ketentuan-ketentuan mengenai :
a)
bentuk
RUPS
b)
Mata
acara sesuai dengan permohonan
c)
Jangka
waktu pemanggilan
d)
Kuorum
kehadiran, dan atau
e)
Ketentuan
tentang persyaratan pengambilan keputusan, serta penunjukkan ketua rapat,
sesuai dengan atau tanpa terikat pada ketentuan UU atau Anggaran Dasar
f)
Perintah
yang mewajibkan direksi dan atau dewan komisaris untuk hadir.
Menurut
pasal 80 ayat 6 UU 2007, penetapan ketua pengadilan yang memberikan izin tersebut
bersifat final. Artinya tidak memungkinkan untuk termohon banding atau kasasi.
Namun menurut pasal 80 ayat (7), apabila ketua pengadilan menolak untuk
menerbitan penetapan izin tersebut, maka pemohon berhak memajukan upaya hukum,
tetapi bukan melalui banding, melainkan dengan langsung memajukan kasasi.
Ø Acara Rapat
Dalam
RUPS pengambilan keputusan yang tidak sesuai dengan acara rapat yang telah
dipermaklumkan, maka keputusan rapat itu tidak sah berlaku (Pasal 82 ayat 5).
Oleh karena itu perlu diingatkan, tidak dapat dalam panggilan dicantumkan acara
“ dan lain-lain” yang kemudian RUPS mengambil suatu keputusan atas dasar karna
adanya pemberitahuan “lain-lain” tersebut.
Namun
jika semua pemegang saham dengan hak suara hadir, dan semuanya dapat menyetujui,
maka dapat saja sewaktu-waktu dilakukan penambahan acara atau agenda yang
dibicarakan (Pasal 76 ayat 4 UU 2007).
Ø Pengumuman akan di selenggarakannya rapat
Berdasarkan
pasal 83 UU 2007, khusus untuk PT terbuka, untuk penyelenggaraan RUPS tidak
cukup semata-mata hanya dengan pemanggilan. Untuk PT terbuka, sebelum di
lakukan pemanggilan melalui iklan, harus terlebih dahulu di dahului dengan”
pemberitahuan” tentang di adakanya rapat. Adapun maksud dari kontruksi ini akan
memberikan kesempatan pada pemegang saham untuk mempersiapkan diri, terutama
dalam hubungannya dengan hari dan tanggal di selenggarakannya RUPS
Ø Hadir dengan kuasa
untuk
menghadiri RUPS, pemegang saham tidak harus hadir sendiri, tetapi boleh dengan
mengutus orang lain sebagai pemegang kuasa (pasal 85 UU 2007 ayat (1)). Tetapi
menurut pasal 85 ayat (4), dalam pemungutan suara kuasa tersebut tidak boleh di
berikan kepada anggota direksi, anggota komisaris, dan karyawan perseroan. Jika
tetap di berikan kepada orang-orang tersebut
maka mereka tidak dapat ikut serta dalam pemungutan suara. Yang di
larang dalam hal ini adalah pemberian kuasa dalam voting dan tidak di larang
jika hanya sekedar hadir. Kehadiran orang-orang tersebut akan tetap di hitung
dalam penghitungan kuorum.
Ø Antara RUPS tahunan dengan RUPS luar biasa
Dalam
pasal 78 di bedakan antara RUPS tahunan dan
RUPS lainnya, RUPS tahunan ini dalam praktek biasa di sebut sebagai RUPS
biasa dan untuk RUPS lainnya di sebut pula sebagai RUPS luar biasa (RULB).
Tetapi yang luar biasa itu bukan
pemegang sahamnya, melainkan adalah
”rapatnya” .
Perbedaan
hanya sekedar pada “acara” ( agenda) dari rapat tersebut. Disebut RUPS Tahunan
atau biasa, jika rapat ini untuk membicarakan pertanggung jawaban direksi dan
komisaris, kususnya berkaitan dengan neraca untung rugi neraca perusahaan.
Disebut tahunan, karena di selenggarakan
setiap tahun paling lambat 6 bulam setelah tahun buku berakhir. Sedangkan di
sebut RUPS luar biasa apabila tidak membicarakan hal tersebut. Dan dapat di
adakan setiap waktu berdasarkan kebutuhan perseroan.
Apabila
penyelenggaraan RUPS tahunan dan RUPS luar biasa secara bersamaan maka
disselenggarakan secara dua tahap. Pertama, di selenggarakan RUPS
tahunan,nkemudian setelah berakhir lalu rapat di tutup. Kemudian dibuka lagi
rapat baru dengan acara RUPS luar biasa.
Ø Hasil keputusan RUPS
Apa
yang di bicarakan, apa yang terjadi dan apa yang di putuskan, haruslah di
catat. Hal ini di jelaskan dalam pasal 90 ayat 1 2007. Pencatatan itu tidak
mutlak oleh seorang notaris. Pencatatan tersebut dapat di lakukan secara non
notaris dengan akta di bawah tangan, tetapi dapatpula seca autentik oleh
notaris. Menurut pasal 90 ayat 1 uu 2007, jika risalah atau pencatatan di bawah
tangan, maka risalah itu di buat dan di tandatangani oleh ketua rapat dan
paling sedikit oleh satu orang pemegang saham yang di tunjuk oleh rapat.
Sebaliknya
jika di buat oleh notaris yang notarisnya hadir sendiri dalam rapat, maka
risalah itu akan dibuat dalam bentuk relaas akta, yaitu yang biasa di sebut sebagai
“berita acara” dan cukup di tanda tangani oleh notaris dan dua saksi pegawai
notaris.
Ø Melalui “circular Rosolution” dan telekonferensi
Menurut
pasal 91 UU 2007, RUPS tidak harus selalu dalam bentuk rapat di suatu tempat
dimana para pemegang saham bertemu secara langsung, tetapi dapat melalui pengambilan
keputusan di luar RUPS, yaitu dengan secara tertulis oleh diretsi di edarkan
pada para pemegang saham yang mengusulkan sesuatu putusan yang di usulkan oleh
direksi, yang kemudian di setujui secara tertulis pula oleh seluruh pemegang
saham. Keputusan yang di ambil seperti itu mempunyai kekuatan hukum yang sama
dengan keputusan RUPS.
Selain itu dalma pasal 77 UU 2007, adalagi
yang di namakan dengan RUPS yang di selenggarakan secara ”telekonferensi”
atau “konferensi” atau media elektronik
lainnya. Dalam rapat ini memang terjadi komunikasi langsung di antara pemegang
saham, tetapi tanpa berkumpul dalam satu tempat, melainkan dilaksanakan oleh
media elektronik.
Dalam
kedua macam rapat tersebut, berlaku pula persyaratan kuorum dan persyaratan
pengambilan keputusan sebagaimana di atur dalam UU 2007, dan harus di buatkan
risalah rapatnya yang di setujui dan di tanda tangani oleh semua rapat.
DAFTAR PUSTAKA
·
Harahap,
M. Yahya, Hukum Perseroan Terbatas, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009).
·
Prasetya
,Rudhi, Perseroan Terbatas Teori dan Praktik, (Jakarta: Sinar Grafika,
2013).
·
Undang-
Undang Republik Indonesia No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar