PKDRT no 23 th 2004 dan paradikma sebagai hukum yang ada dalam masyarakat
Sebelum
kita membahas dan mengupas mengenai paradigma yang terkandung dalam UU PKDRT,
alangkah baiknya kita mengetahui terlebih dahulu mengenai apasih pengertian dari PKDRT itu? dan tujuan
di galangkannya PKDRT itu?
Mengenai
apa pengertian PKDRT sudah tertera di dalam pasal 1 ayat 1 “keketasan
rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan,
yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termsuk kemerdekaan secara
melawann hukum dalam lingkup rumah tangga[1]”
Itu tadi pemaparan mengenai
peengertian PKDRT. Selanjutnya mengenai apa tujuan di cetuskannya PKDRT
tresebut? Pada UU NO.23 th 2004, menjelaskan bahwa tujuan dari di cetuskannya
PKDRT ini adalah sebagai payung perlindungan untuk masyarakat dalam membina
rumah tangga yang bahagia, untuk meminimalisir terjadinya kekerasan yang
menimbulkan korban nyawa. Kekeradan yang timbul akan menyebabkan suatu
gangguan-gangguan yang di alami oleh korban atau pun tersangka.mengenai apa
saja bebtuk-bentuk kekerasan yang tertera pada pasal 1 ayat 1. Adalah sebagai
berikut:
·
Kekerasan fisik, yang
mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat.
·
Kekerasan psikis,
yang mengakibatkan rasa ketakutan, hilangnya rasa percaya diri,hilangnya
kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dll.
·
Kekerasan seksual,
yang berupa pemaksaan seksual dengan cara tidak wajar, baik untuk suami maupun
untuk orang lain untuk tujuan komersial, atau tujuan tertentu ; dan.
·
Penelantaran rumah
tangga yang terjadi dalam lingkup rumah tangganya, yang mana menurut hukum
diwajibkan atasnya[2].
Selain itu penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan
ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja
yang layak di dalam atau di luar rumah,sehingga korban berada di bawah kendali
orang tersebut.
Selanjutnya,
mengenai pengertan KDRT tersebut saya mengalami suatu keganjalan, karena ketidak
relefanan dengan realita masyarakan yang sekarang, pada pasal 1 ayat 1
terterang “... seseorang terutama perempuan” yang saya tanyakan mengapa kok
yang di utamakan adalah seorang perempuan, padahal kekerasan yang di alami
dalam rumah tangga tidak semuanya di alami oleh seorang perempuan saja padahal
dalam rumah tangga juga ada anak, dan anak pun juga banyak yang menjadi korban
dalam KDRT. Adalagi kasus yang baru-baru
ini terjadi yang di alami oleh seorang artis yang di aniaya oleh istrinya yanng
mengakibatkan cidera pada bagian telingga dan membuan suaami/seorang artis itu
trauma. Dari contoh kasus di atas seharusnya adanya tambahan pada pasal 1 ayat
1 UU PKDRT yang sesuai dengan fenomena sekarang, saya mengusulka “... seseorang
terutama perempuan dan anak-anak”. Adapun laki-laki sudah termuat dalam
karta-kata seseorang tersebut.
Bagaimana
dengan tanggapan-tanggapan masyarakat mengenai KDRT tersebut, sesungguhnya
banyak masyarakat yang mengetahui dan mengerti tentang KDRT, hanya saja
masyarakat itu belum semuanta memahami mengenai isi dan manfaat dari pada UU
itu sendiri. Bagaimana dengan akibat dari KDRT itu, bahkan ada masyarakan yang
mengerti tetapi menghiraukan, mereka beranggapan hal itu tidak penting untuk di
pelajari padahal secara tidak langsung manfaat di cetuskan nya UU tersebut
banyak sekali. Ironisnya lagi di kalangan masyaraakat desa, mengapa saya
mengatakan ironis karena kurangnya sosialisasi pemerintah mengenai UU PKDRT
tersebut, juga minimnya sarana prasarana, baik itu dalam pelayanan aparat penegak
hukum, elektro yang belum masuk, dan sifat ke malu-maluan masih melekat. Dan
mereka juga beranggapan bahwa kekerasan seperti itu sudah menjadi hal yaang biasa
dan wajar di lakukan untuk membentuk keluarga yang mereka inginkan.
Pada
bab 3 pasal 5 “Setiap orang dilarang melakukan
kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang
dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara : kekerasan fisik; kekerasan psikis; kekerasan seksual; atau penelantaran rumah tangga”.
dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara : kekerasan fisik; kekerasan psikis; kekerasan seksual; atau penelantaran rumah tangga”.
Pada pasal di atas mengenai kekerasan fisik adanya ketidak
relefanan antara agama islam dengan UU PKDRT ini. Mengapa demikian, masyarakat
indonesia ini mayoritas agama yang di anut adalah agama ialam, dan dimana agama islam juga mengajarkan tentang
bagaimana cara mendidik anak. Masalahnya di sini apabila orang tua memukul
anaknya karena dia tidak mau mengerjakan sholat, padahal dalam islam orang tua
wajib untuk memukulnya, sedangkan dalaam kontek UU PKDRT pemUkulan yang di lakukan orang tua pada
anaknya adalah tindak kekerasan dan melanggar UU PKDRT dan perlindungan anak.
Mengenaai contoh permasalahan di atas solusi untuk merelefankan antata agama
dengan UUPKDRT yang tepat adalah yang di
maksud pandangan kekerasan dalam islam itu orang tua memang wajib memukul
anaknya tapi dengan cara memukul dengan lidi sebanyak 100 kali, sedangkan dalam
kontek UUPKDRT ini yang di maksud kekerasan fisik adalah apabila dalam memukul
itu menciderai anak tersebut sampai parah, trauma, dan perlu adanya fisum
(keterlaluan) untuk menguatkan dugaan penganiayaan.
Pada pasal 9 ayat 1 dan 2 dalm UUPKDRT, “ (1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup
rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena
persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau
pemeliharaan kepada orang tersebut. (2) Penelantaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan
ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di
dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang
tersebut.”
Pada
pasal di atas ini sesuai dengan paradikma hukum itu sebagai rekayasa sosial,
karena dalam pembuatan hukum ini pemerintah mengharapkan danya perubahan dari masyarakat nya mengenai menset
cara berfikir masyarakat itu agar tidak kolot dengan sewenang-wenangnya sendiri
sendiri dalam keluarga, agar orang yang sudah menikah itu mau menjaga, merawat,
memelihara keluarganya dengan baik, agar tidak ada kasus/ meminimalisir kasus
kekerasan tersebut dalam rumah tangganya. Pada pasal 49 sama juga sama dengan
pasal 9, yakni merekaayasa masyarakat agar
orang (tersangka) yang dulunya di penjara karena kasus KDRT setelah keluar penjara orang tersebet menjadi
jera dengan perbuatan-perbuatan yang di lakukan nya dan agar lebih berhati-hati
dalam membina rumah tangganya yang dan dengan yang di harapkan selepas keluar
dari penjara.
Pada
pasal 34 “ (1) Berdasarkan pertimbangan bahaya yang
mungkin timbul, pengadilan dapat menyatakan satu atau lebih tambahan kondisi
dalam perintah perlindungan. (2) Dalam pemberian tambahan kondisi dalam
perintah perlindungan, pengadilan wajib mempertimbangkan keterangan dari
korban, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau
pembimbing rohani.”
Menurut
pasal dan ayat yang tertera di atas, paradikma yang sesuai adalah bahwah hukum
tersebut sebagai pelayanan masyarakat, mengapa demikian pada kasus KDRT itu
pasti ada kendala dalam pelayanan, adanya trauma apakah dari pihak korban atau
pihak tersangka, seperti hal nya aparat Pekerja
sosial, relawan pendamping,dan pembimbing rohani itu wajib memberikan pelayanan
kepada korban atau pun tersangka dalam bentuk pemberian konseling untuk
menguatkan dan atau memberikan rasa aman bagi korban, dan bagi tersangka agar
jera atas tindakanya, dan setelah keluar dati tahanan tidak ada dendam antara kedua belah pihak.
Pada pasal 44 ayat 1 dan seterusnya “Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam
lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp
15.000.000,00 (lima belas juta rupiah) ......”
Menurut
saya pada pasal tersebut kurang relevan dalam masyarakat karena banyak menuai
kontrofersi. Seharusnya pemerinyah itu
membuat undang-undang itu tidak
mementukan batasan, seperti halnya adanya batasan maksimal dan minimal karena
apa dengan di adakannya batasan–batasan hukum banyak masyarakat yang di rugikan
khususnya pihak korban. Dengan adanya maxsimal dan minimal menurut saya hukum
di mata masyarakat itu lemah sehingga masyarakat itu banyak yang menghiraukan
dan akhirnya membuat pelanggaaran.
Demikian
tadi pemaparan sekilas mengenai UUPKDTR dan hukum sebagai paradikma, saya mohon maaf apabila ada salah kata, ketik
ataupun pemaparan nya. Dan saya mohon koreksinya atas tugas yang saya buat.
terimakasih